Larangan Monopoli & Larangan Menimbun Barang
عَنِ ابْنِ عَبَّا سٍ قَلَ: قَلَ رسول الله صلّى الله
عليه وسلم :لاَ تَلَقُّو ا الرُّكَّا بَ وَلاَ يَبِعْ حَا ضِرُ‘ لِبَادٍ, قُل: فَقُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: مَاقُوْلُهُ: لاَ يَبِعْ حَا ضِرُ لِبَادٍ؟,قَلَ:
لاَيَكُنُ لَهُ سِمْسَارًا.
Terjemahan hadis :
Dari Ibnu abbas ia berkata: telah bersabda Rasulullah
SAW: “ Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dan janganlah orang-orang kota menjual buat orang
desa.” saya bertanya kepada Ibnu abbas, ” Apa arti sabdanya.? “Janganlah kamu
mencegat kafilah-kafilah dan jangan orang-orang kota menjualkan buat orang
desa,” Ia menjawab: “Artinya janganlah ia menjadi perantara baginya.”
Biografi perawi :
Abdullah Ibnu Abbas Ibn Abd. Al-muthallib Al-madani ath-thafi al-hasyim
Ibnu Abbas adalah seoarang
Sahabat yang luas ilmunya. Rasulullah SAW., sebagai mana diriwayatkan oleh Ibn
Umar, meriwayatkan Ibn Abbas sebagai tinta dan lautan karena kedalaman ilmunya. Ia juga dikenal sebagai
orang yang wara dan terpercaya.
Ia menerima hadits dari Rasululah
SAW., dari ayah dan ibunya ( Ummu Al-fadhl), saudaranya(Alfadhl)bibinya
(maimunah), Abu Bakar, Umar, Utman, Ali, Abd. Ar-rahman Ibn Auf, Mu’adz bin
Jabal, Abu Dzar. Ubay Ibn Ka’ab, TamimAd-dary, Khalid Ibn Al-Walid, Utsman Ibn
Zaid, Haml Ibn Malik, Abu Sa’id Al-khudri, Abu Hurairah, Muawwiyah
Ibn Abu Sofyan, Aisyah, dan Jama’ahnya.[1]
Tinjauan bahasa :
Mencegat. Maksudnya pergi menjumpai kafilah sebelum
mereka sampai di kota dan sebelum mereka mengetahui harga pasar : تَلَقُّو
para pedagang yang biasanya menunggang unta dan sering
disebut kafilah : الرُّكَّا بَ
makelar
atau yang menimbun : سِمْسَار
Syarah hadis :
Dalam sejarah di utarakan,
bahwa masyarakat arab banyak pekerjaannya sebagai pedagang. Mereka berdagang
dari negeri yang satu kenegeri yang lain. Ketika mereka kembali, mereka membawa
barang-barang yang sangat dibutuhkan oleh penduduk mekkah. Mereka datang
bersama rombongan besar yang disebut kafilah. Penduduk arab berebut untuk
mendapatkan barang tersebut karena harganya murah. Oleh karena itu banyak
tengkulak atau makelar (menimbun barang) dan juga makelar biasanya di sebutkan
perantara yang mempertemukan penjual dan pembeli namun tidak atas nama atau
tanggung jawab sendiri. mencegat rombongan tersebut di tengah jalan atau memborong barang yang dibawa
oleh mereka. Para pedagang tersebut menjualnya kembali dengan harga yang sangat
mahal. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau mencegatnya di
tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama islam. Rasulullah
saw bersabda:
“apabila dua orang saling jual beli, maka keduanya memiliki hak memilih
selama mereka berdua belum berpisah, dimana mereka berdua sebelumnya masih
bersama atau selama salah satu dari keduanya memberikan pilihan kepada yang
lainnya, maka apabila salah seorang telah memberikan pilihan kepada keduanya,
lalu mereka berdua sepakat pada pilihan yang diambil, maka wajiblah jual beli
itu dan apabila mereka berdua berpisah setelah selesai bertransaksi, dan salah
satu pihak diantara keduanya tidak meninggalkan transaksi tersebut, maka telah
wajiblah jual beli tersebut”. (diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim)
Dalam hadits tersebut jelaslah bahwa islam mensyari’atkan bahwa penjual dan
pembeli agar tidak tergesa-gesa dalam bertransaksi, sebab akan menimbulkan
penyesalan atau kekecewaan. Islam mensyari’atkan tidak hanya ada ijab Kabul
dalam jual beli, tapi juga kesempatan untuk berpikir pada pihak kedua selama
mereka masih dalam satu majlis.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan Monopoli adalah situasi
yang pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional)
sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok
sehingga harganya dapat dikendalikan.
Monopoli di
dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah “al-Ihtikar“, yaitu secara bahasa
adalah menyimpan makanan, adapun secara istilah adalah : Seseorang membeli
makanan ketika harganya tinggi untuk diperjual belikan, tetapi dia tidak menjualnya pada
waktu itu, justru malah ditimbunnya agar menjualnya dengan harga yang lebih
tinggi. ( Imam
Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim : 10/ 219 )
Pada tanggal 5
Maret 1999 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun
1999, tentang larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan pada
pasal 1 disebutkan bahwa Monopoli adalah : “Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau suatu kelompok
pelaku usaha”.
Sebagaimana Firman Allah SWT tentang monopoli hukumnya haram yaitu :
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ
عَذَابٍ أَلِيمٍ
“ Dan barang siapa yang bermaksud di dalamnya (
Mekkah ) melakukan kejahatan secara dhalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya
sebahagian siksa yang pedih.” (
Qs al-Hajj : 25 )
Berkata
ath-Thobari di dalam tafsirnya
(9/131 ) : “ Yang
dimaksud melakukan kejahatan di dalamnya adalah melakukan monopoli makanan di
Mekkah. “
Kata Al-Ihtikar yaitu orang yang membeli makanan dan kebutuhan pokok
masyarakat untuk dijual kembali, namun ia menimbun (menyimpan) untuk menunggu
kenaikan harga. Monopoli adalah membeli barang perniagaan untuk didagangkan
kembali dan menimbunnya agar keberadaaannya sedikit dipasar lalu harganya naik
dan tinggi bagi si Pembeli.
Para ulama membagi monopoli
kedalam dua jenis:
1.
Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok masyarakat,
Sabda Rasulullah, riwayat Al-Asram dari Abu Umamah:
Sabda Rasulullah, riwayat Al-Asram dari Abu Umamah:
أَنْ النبيُ صَلى الله عَليهِ وسلم نهَى أنْ يَحْتكِرُالطٌعَا مَ.
Artinya:
“Nabi SAW melarang monopoli makanan”
“Nabi SAW melarang monopoli makanan”
2.
Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan kepentingan
umum, seperti: minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak.
Kriteria Monopoli yang di dilarang menurut
mayoritas ulama bila memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :
Pertama : Monopoli yang dilarang adalah
jika penimbun membelinya dari pasar umum. Adapun jika menimbun dari sawahnya
sendiri atau dari hasil kerjanya sendiri maka hal itu dibolehkan.
Berkata Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni ( 4/ 154 ) : “ Jika dia mengambil barang dari
tempat lain atau dari sawahnya sendiri dan menyimpannya, maka tidak termasuk
menimbun yang dilarang. “
Di dalam Mushannaf
Abdu Rozaq ( 14885 )
dengan sanad shahih bahwa Thowus menyimpan bahan makanan hasil panen sawahnya
selama dua sampai tiga tahun, untuk dijualnya ketika harga barang naik.
Kedua : Monopoli yang
dilarang adalah jika dia membeli barang tersebut ketika harganya mahal, untuk
kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Seperti orang
membeli bensin banyak-banyak menjelang harga naik, untuk disimpannya dan
menjualnya dengan harga tinggi.
Kalau membeli ketika harga murah dan barangnya berlimpah di masyarakat dan
menyimpannya untuk dijual dengan harga lebih mahal karena kebutuhan hidupnya,
maka ini tidak termasuk monopoli yang dilarang.
Berkata Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (11/ 41): “ Monopoli yang diharamkan adalah jika
seseorang membeli makanan ketika harganya mahal dengan tujuan untuk dijual
lagi, dia tidak menjualnya langsung, tetapi disimpannya terlebih dahulu
agar harganya lebih mahal. Adapun jika dia membeli makanan tersebut pada waktu
harga murah, kemudian menyimpannya dan menjualnya ketika harga tinggi, karena
dia membutuhkan ( uang ) untuk makan, ataupun jika seseorang membeli makanan
tersebut kemudian dijualnya lagi, maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak
termasuk dalam monopoli, dan tidak diharamkan. “
Ketiga : Monopoli yang dilarang adalah
jika dia menimbun untuk dijual kembali. Adapun jika ia menimbun makanan atau
barang untuk kebutuhan pribadi atau keluarga, tanpa ada niat menjualnya bukan
termasuk monopoli yang dilarang.[2]
Berkata al-Baji di dalam al-Muntaqa
( 5/15 ) : “ Monopoli
itu adalah menimbun barang dagangan dan mengambil untung darinya. Adapun
menyimpan bahan makanan ( untuk keperluan sendiri ), maka tidak termasuk
monopoli. “
Di dalam hadist Umar bin Khattab radhiyallahu
'anhu bahwa
beliau berkata :
3. انَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْبِسُ نَفَقَةَ أَهْلِهِ سَنَةً ،
ثُمَّ يَجْعَلُ مَا بَقِيَ مِنْ تَمْرِهِ مَجْعَلَ مَالِ اللَّهِ
“ Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyimpan
makanan untuk keluarganya selama setahun, adapun sisa dari kurmanya dijadikan
sebagai harta Allah ( untuk dinfakkan).” ( HR. Abdur
Rozaq di dalam al Mushannaf (14451). Hadist yang serupa juga diriwayatkan
Bukhari (2904 )dan Muslim (1757 )
B.
Larangan
Menimbun Barang (BM:813)
عن معمر بن عبد الله عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لاَ يَحْتَكِرُوْ إِلاَّ خاَطِئٌ
عن معمر بن عبد الله عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لاَ يَحْتَكِرُوْ إِلاَّ خاَطِئٌ
Terjemahan hadis :
Dari Ma’mar bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda, tidaklah
seseorang menimbun (makanan pokok), melainkan ia berdosa.
Biografi perawi :
Ma’mar
Ibnu Abu Ma’mar ia termasuk sahabat yang paling dulu masuk islam dan pernah
hijrah ke Habsyah. Ia meriwayatkan dari Nabi SAW, Umar bin Khattab, dan
lain-lain. Sedangkan orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah Sa’id
Ibnu musayyab, Basyir Ibnu Sa’adalah, Abdurrahman Ibnu Jabbir Al-misry dan
Basir ‘Afiyyah Al Adawi (maulanya).
Menurut
Ibnu Abdul Al-bir beliau termasuk tokoh dari Bai’dhawi. menurut Ibnu hajar
Al-Asqalani beliau pernah mencukur rambut rasulullah SAW.
Tinjauan bahasa
:
Menimbun : يَحْتَكِرُ
Orang yang melakukan kesalahan :
خاَطِئٌ
Syarah hadis :
Menimbun artinya
membeli barang dalam jumlah yang banyak kemudian menyimpannya dengan maksud
untuk menjualnya dengan harga tinggi kepada penduduk ketika mereka sangat
membutuhkannya. Biasanya barang-barang
yang ditimbun adalah barang yang sedang melimpah dan harganya murah.
Ketika barang sudah jarang dan harganya tinggi, si penimbun mengeluarkan
barangnya dengan harga tinggi sehingga ia memperoleh keuntungan yang berlipat.
Walaupun harganya tinggi, sipembeli pun sangat membutuhkan (biasanya barang
kebutuhan pokok) maka dengan sangat terpaksa pembelipun membelinya.[3]
مَنْ احْتَكَرَ
عَلى لمُسْلِمِيْنَ طَعَامُهُمْ ضَرَبَهُ اللهُ بِل
اجُذام ِ وَالاِ فْلاَ سِ
Artinya: “Siapa menimbun makanan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan kepadanya.”
Artinya: “Siapa menimbun makanan kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan penyakit dan kebangkrutan kepadanya.”
Dalam hadis
diatas, tidak dijelaskan jenis barang yang dilarang untuk ditimbun.
Menurut Al-syafi’iyah dan Hanabilah, barang yang dilarang ditimbun adalah
barang kebutuhan primer.[4]
Abu Yusuf berpendapat bahwa barang yang dilarang ditimbun adalah semua barang
yang dapat menyebaban kemudharatan orang lain, termasuk emas dan perak.[5]
Sedangkan Ulama lainnya merpendapat bahwa penimbunan barang yang dilarang
adalah barang-barang yang biasa diperdagangkan karena akan menimbulkan
ketidakstabilan harga.
Para
ahli fiqh berpendapat bahwa penimbunan diharamkan apabila :
1. Barang
yang ditimbun melebihi kebutuhannya atau dapat dijadikan persediaan untuk
setahun penuh.
2. Barang
yang ditimbun dalam usaha menunggu pada saat naiknya harga, sehingga barang tersebut dapat dijual dengan
harga yang lebih tinggi.
3. Penimbunan
itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya, misalnya, makanan,
pakaian, dan lain-lain.
Sedangkan mengenai hukum dari penimbunan
barang tersebut, dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Akan tetapi,
secara umum pendapat mereka dapat di golongkan menjadi dua kelompok :
1. Menurut
mazhab Jumhur dikalangan Syafi’iyaah, Malikiyah,Hanabilah,Zahiriyah,
Zaidiyah,Ibadiyah, Al-Imamiyah, dan Al-kasani dari golongan Hanafiyah, bahwa
penimbunan barang hukumnya haram. Dengan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut
akan menimbulkan kemudharatan bagi manusia.
2. Menurut pendapat Fuqaha dari kalangan mazhab
Hanafiyah, bahwa penimbunan barang hukumnya makruh. Dengan pertimbangan bahwa
penimbunan tersebut diperbolehkan jika demi kemaslahatan manusia.
Adapun mengenai waktu penimbunan tidak
terbatas, pada dasarnya Nabi melarang menimbun barang pangan selama 40 hari,
biasanya pasar akan mengalami fluktuasi jika sampai 40 hari barang tidak ada
dipasar karena ditimbun, padahal masyarakat sangat membutuhkannya. Bila
penimbunan dilakukan hanya beberapa hari saja sebagai proses pendistribusian
barang dari produsen ke konsumen, maka belum dianggap sebagai sesuatu ilfi yang
membahayakan. Namun apabila bertujuan menunggu saatnya naik harga sekalipun
hanya satu hari itu termasuk penimbunan yang membahayakan dan tentu saja
diharamkan.[6]
Berkenaan dengan masalah penimbunan
barang, Dr. Yusuf Qardhawy menyebutkan syarat-syarat pedagang yang akan
mendapat ridha Allah SWT yaitu :
1. Pedagang
hanya menjual barang-barang yang mubah.
2. Pedagang
tidak menipu dan berkhianat, sebagaimana sabda Rasulullah :
من
غش فليس منا
Artinya : Barang siapa
menipu (mengecoh) bukan dari golongan kami (HR.Muslim. dll)
3. Pedagang
tidak menimbun barang dagangan pada saat masyarakat sedang membutuhkan (dengan
tujuan memperoleh laba sebanyak-banyaknya), hal ini mencakup semua barang
dagangan yang dibutuhkan oleh kaum muslimin. Rasulullah SAW memberikan predikat
menimbun dengan khati’un (orang yang berbuat dosa) bukanlah perkara yang
ringan, karena Allah SWT juga telah menyebutkan bahwa Fir’aun dan Haaman
beserta tentaranya dengan istilah yang sama sebagaimana firman Allah
“Sesungguhnya fir’aun dan haaman beserta tentaranya adalah orang-orang yang
bersalah”.
4. Pedagang
tidak boleh meninggikan harga pada kaum muslimin, apalagi kalau harga tersebut
telah ditetapkan oleh pemerintah.
5. Pedagang
tidak boleh bersumpah palsu, bahkan sedapat mungkin harus menjauhi sumpah
walaupun ia benar. Karena sumpah akan menenggelamkan pelakunya kedalam dosa
didunia dan akhirat.
6. Hendaklah
pedagang mengeluarkan zakatnya 2,5%, baik harta yang berputar maupun harta
perniagaan yang diketahui nilainya.
7. Pedagang
tidak boleh disibukkan oleh barang dagangannya sehingga lalai atas kewajiban
agamanya.
Dalam Islam orang yang menimbun barang
terutama makanan pokok untuk dijual dengan harga yang tinggi pada waktu orang
lain sangat membutuhkannya adalah perbuatan dosa. Akan tetapi, kalau menimbun
barang demi kemaslahatan penduduk dalam rangka menyiapkan perubahan musim tidak
termasuk berbuat dosa.
Dengan demikian, untuk mencegah agar
para penimbun tidak leluasa melakukan perbuatan tercela tersebut, diperlukan
peran pemerintah untuk mengatur mekanisme perdagangan secara adil dan menindak
dengan tegas. Hal ini karena perbuatan mereka menimbulkan keresahan sosial dan
tidak menutup kemungkinan menimbulkan banyak korban kalau barang tersebut
mereka jual kepada masyarakat dengan harga sangat tinggi sehingga tidak dapat
dijangkau. Tidak heran kalau para penimbun dianggap sebagai sejelek-jeleknya
hamba yang secara tidak langsung telah merampas hak dan kewajiban orang lain
demi kepentingan diri sendiri.
PENUTUP
&
KESIMPULAN
a. Membeli barang dagangan sebelum sampai dipasar atau
mencegatnya di tengah jalan merupakan jual beli yang terlarang didalam agama
islam.
b. Menimbun atau memonopoli adalah tindakan membeli
barang dalam jumlah yang banyak kemudian menyimpannya dengan tujuan untuk
menjualnya kembali dengan harga tinggi kepada penduduk ketika mereka sangat membutuhkannya
pada saat barang susah untuk ditemukan, sehingga penimbun mendapatkan
keuntungan yang berlipat.
c. Monopoli yang haram, yaitu monopoli pada makanan pokok
masyarakat.
d. Monopoli yang diperbolehkkan, yaitu pada suatu yang bukan
kepentingan umum, seperti : minyak, lauk pauk, madu, pakaian, hewan ternak.
[1] Syafe’I Rachmat, Al-Hadits Aqidah,Akhlaq, Sosial, Dan Hukum(
Bandung: Pustaka Setia,2000)h,167
[2] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A, Al-Hadis,
hal. 170
[3] H.
Rachmat Syafe’i, Al-Hadis aqidah, akhlak, sosial, hukum, (Pustaka Setia
: Bandung,2000)hal.174
[4] Ilfi
Nurdiana, Hadis-hadis Ekonomi,(Yogyakarta:UIN
MALANG Press, 2008), hal:69
[5] Ibnu
Hajar Al-Asqalany, Subulu As-Salam,
juz III,hal.25
[6] Ilfi
Nudiana,Op.Cit, ha l71
Post a Comment for "Larangan Monopoli & Larangan Menimbun Barang"