Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting ADS Search Google

Orang Badui Dalam Al-Qur'an Begini Sikapnya



1. Suka Mencari Alasan

Dalam hal ini mereka disinggung dalam surat At-Taubat ayat 90:   
uä!%y`ur tbrâÉjyèßJø9$# šÆÏB É>#{ôãF{$# tbsŒ÷sãÏ9 öNçlm; yyès%ur tûïÏ%©!$# (#qç/xx. ©!$# ¼ã&s!qßuur 4 Ü=ŠÅÁãy tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2        öNåk÷]ÏB ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÒÉÈ 
Artinya: Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan ´uzur, yaitu orang-orang Arab Baswi agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih. (QS. At-Taubah: 90).  

Ayat ini menjelaskan tentang sekelompok orang-orang Badui yang datang kepada Nabi agar supaya mereka tidak ikut untuk berjihad. Mereka menjelaskan kepada Nabi bahwa mereka lemah dan tidak mampu untuk mengikuti jihad.[1] Kelompok itu menurut al-Razi adalah kelompok munafik orang-orang Badui. Ada yang mengatakan mereka adalah kelompok Asad dan Ghathafan, ada yang mengatakan mereka kelompok Amir bin Tufail,[2] ada pula yang mengatakan mereka adalah kelompok Bani Ghiffar. Mengenai udzur yang mereka ajukan kepada Nabi, hal ini ada dua kemungkinan, yaitu udzur yang dapat diterima dan udzur yang rapuh dan berbohong. Ibnu Katsir memahami kata tersebut pada ayat ini dalam pengertian pertama, sedangkan al-Zamakhsyari dan al-Biqa’i memahaminya dalam pengertian kedua. Jika kata al-mu’adzdzirun dipahami dalam pengertian pertama, firman Allah: orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja menunjuk kepada mereka yang durhaka karena mereka tidak datang menyampaikan udzur dan inilah yang dikecam dan diancam oleh ayat ini. Adapun jika al-mu’adzdzirun dipahami dalam pengertian yang kedua, yang ini diancam karena ketidakhadirannya dalam berperang dan berbohong, sedang yang duduk berdiam diri juga diancam karena ketidakhadirannya dan ketiadaan permintaan izinnya.[3]
Maka, dengan melihat susunan redaksi ayat, pendapat pertamalah yang lebih kuat. Apalagi bahasa pun membenarkan penggunaan kata al-mu’adzdzirun untuk mereka yang memiliki alasan yang benar. Pembenaran terhadap pendapat pertama ini juga diungkapkan oleh al-Razi. Orang-orang ini menurut al-Razi mereka termasuk golongan munafik, dengan penjelasan bahwa mereka membohongi Allah dan Rasul-nya dengan mengaku-ngaku iman. Ancaman Allah: kelak orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa adzab yang pedih, redaksi ayat ini menggunakan kata kafir, sehingga dapat dipahami suatu saat mereka akan menyatakan ketidakimanannya terhadap Nabi. Selain itu, redaksi tersebut juga menggunakan kata min, hal ini karena Allah tahu bahwa sebagian dari mereka juga akan ada yang beriman.[4]

2. Kekafiran dan Kemunafikan Suku Badui
Hal ini dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 97:

Ü>#{ôãF{$# x©r& #\øÿà2 $]%$xÿÏRur âyô_r&ur žwr& (#qßJn=÷ètƒ yŠrßãn !$tB tAtRr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ×LìÅ3ym ÇÒÐÈ  
Artinya: Orang-orang Arab Badui itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 97)

Mengenai ayat ini Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata  اشد dan  اجدر pada ayat ini dari segi bahasa berarti lebih keras dan lebih wajar, namun sebagian ulama mengartikan bukan dalam arti perbandingan, melainkan amat keras dan amat wajar. Jika diartikan sebagai perbandingan, maka kekufuran dan kemunafikan orang-orang Badui lebih keras dibandingkan penduduk kota dan mereka lebih wajar untuk tidak mengetahui batas-batas agama. Jika bukan perbandingan, maka orang-orang Badui kekafiran dan kemunafikannya amat keras dan amat wajar kalau mereka tidak mengetahui batas-batas agama. Pendapat kedua inilah menurut Quraish Shihab yang lebih baik, karena kemunafikan sementara penduduk kota dan kekufuran mereka justru banyak yang melebihi kekufuran dan kemunafikan orang-orang Badui. Sifat penduduk kota, akibat persaingan yang lebih ketat dan kebutuhan yang lebih banyak seringkali melahirkan kemunafikan, kedurhakaan, dan kekufuran yang jauh lebih besar dari pada selain mereka.[5]
Al-Qurthubi menghukumi mereka dengan tiga hukum. Pertama, mereka tidak berhak mendapatkan harta fai’ dan ghanimah. Kedua, gugurnya penyaksian orang-orang Badui dibandingkan penduduk menetap. Ketiga, penduduk menetap dilarang menjadikan mereka sebagai imam karena kebodohan mereka terhadap sunnah dan karena mereka meninggalkan shalat jum’ah.[6]
Kemudian pada ayat selanjutnya (surat At-Taubah ayat 98) dijelaskan tentang sifat-sifat mereka:

z`ÏBur É>#{ôãF{$# `tB äÏ­Gtƒ $tB ß,ÏÿZム$YBtøótB ßÈ­/uŽtItƒur â/ä3Î/ tÍ¬!#ur¤$!$# 4 óOÎgøŠn=tæ äotÍ¬!#yŠ Ïäöq¡¡9$# 3 ª!$#ur ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÒÑÈ  
Artinya: Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah), sebagi suatu kerugian, dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu, merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah: 98).
Ayat ini menjelaskan bahwa di antara orang-orang Badui itu ada yang menjadikan, yakni memandang, apa yang dia nafkahkan di jalan Allah sebagai suatu kerugian. Karena itu, jika mereka bernafkah, nafkah itu mereka lakukan dengan terpaksa dan tanpa keikhlasan, dan dia menanti-nanti, secara bersungguh-sungguh dan penuh antusias, marabahaya yang tidak terelakkan menimpa kamu agar mereka tidak dibebani suatu kewajibanpun; merekalah yang terus menerus, bukan selain mereka, yang ditimpa marabahaya dengan tersebarnya Islam atau jatuhnya sanksi terhadap mereka. Dan Allah maha mendengar ucapan siapapun dan suara apapun, lagi maha mengetahui segala sesuatu, termasuk niat-niat busuk mereka.[7]

3. Pandai Menyembunyikan Kemunafikan

 Allah berfirman pada surat At-Taubah ayat 101:

ô`£JÏBur /ä3s9öqym šÆÏiB É>#tôãF{$# tbqà)Ïÿ»oYãB ( ô`ÏBur È@÷dr& ÏpuZƒÏyJø9$# ( (#rߊttB n?tã É-$xÿÏiZ9$# Ÿw ö/àSßJn=÷ès? ( ß`øtwU öNßgßJn=÷ètR 4      Nåkæ5ÉjyèãZy Èû÷üs?§¨B §NèO šcrŠtãƒ 4n<Î) A>#xtã 8LìÏàtã ÇÊÉÊÈ  
Artinya: Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. (QS. At-Taubah: 101)
Ayat ini merupakan khabar Allah kepada Nabi Muhammad bahwa di sekeliling Nabi ada orang-orang munafik Badui dan juga orang-orang munafik dari penduduk Madinah. Orang-orang munafik Badui itu adalah golongan Juhainah, Aslam, Asyja’ dan Ghiffar.[8] Mereka akan disiksa dua kali, yaitu adzab dunia dan adzab kubur,[9] kemudian mereka akan dikembalikan kepada adzab yang besar, di akhirat nanti.[10]
Kata مردوا terambil dari kata مرد yang di dalam berbagai bentuknya menggambarkan sesuatu yang sangat halus, tanpa terlihat kasar apalagi menonjol. Seorang anak yang belum tumbuh jenggot atau kumisnya dinamai  امرد karena wajahnya sangat halus dan tidak ada sesuatu yang kasar pada pipi dan wajahnya. Kata ini juga menggambarkan sesuatu yang mantab. Ia mantab akibat latihan atau keterbiasaan, dari sini kata tersebut diartikan juga terbiasa dan terlatih. Siapa yang demikian itu halnya pastilah sangat dalam kemampuannya lagi mantab sehingga tidak mudah terkalahkan. Setan digelar juga dengan مارد yang terambil dari akar kata yang sama karena kemampuannya yang luar biasa merayu dan menggoda. Sehingga, orang-orang munafik yang dibicarakan oleh ayat ini sungguh sangat dalam kemunafikannya. Sifat buruk telah mendarah daging dalam kepribadian mereka sehingga, karena keahliannya dalam kemunafikan, Nabi pun tidak mendeteksinya.

4. Lebih mencintai dirinya sendiri ketimbang Rasul
Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 120:

$tB tb%Ÿ2 È@÷dL{ ÏpuZƒÏyJø9$# ô`tBur Oçlm;öqym z`ÏiB É>#{ôãF{$# br& (#qàÿ¯=ytGtƒ `tã ÉAqߧ «!$# Ÿwur (#qç7xîötƒ öNÍkŦàÿRr'Î/ `tã  ¾ÏmÅ¡øÿ¯R 4 šÏ9ºsŒ óOßg¯Rr'Î/ Ÿw óOßgç6ÅÁムØ'yJsß Ÿwur Ò=|ÁtR Ÿwur ×p|ÁyJøƒxC Îû È@Î6y «!$# Ÿwur šcqä«sÜtƒ $Y¥ÏÛöqtB à áÉótƒ u$¤ÿà6ø9$# Ÿwur šcqä9$uZtƒ ô`ÏB 5irßtã ¸xø¯R žwÎ) |=ÏGä. Oßgs9 ¾ÏmÎ/ ×@yJtã ìxÎ=»|¹ 4 žcÎ) ©!$# Ÿw ßìÅÒムtô_r& tûüÏZÅ¡ósßJø9$#  ÇÊËÉÈ
Artinya: Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. At-Taubah: 120).
Ayat ini menggambarkan bagaimana seharusnya sikap orang beriman kepada Rasulullah, antara lain bahwa ia harus mencintai Rasul lebih dari cintanya terhadap dirinya sendiri. Ada banyak ayat dan hadis yang menegaskan hal ini, antara lain firman-Nya:

ÓÉ<¨Z9$# 4n<÷rr& šúüÏZÏB÷sßJø9$$Î/ ô`ÏB öNÍkŦàÿRr& (
Artinya: Nabi (Muhammad) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. (al-Ahzab: 6)
Ketika Rasul bersabda bahwa: “Tidak sempurna iman seseorang sampai aku lebih disukainya dari dirinya sendiri”, Sayyidina Umar berkata: “Aku menyukaimu lebih dari keluargaku dan hartaku, tetapi tidak diriku sendiri.” Rasul mengulangi pernyataan beliau. Selanjutnya, setelah beberapa lama, Sayyida Umar datang menyampaikan bahwa kini dia menyukai Rasul lebih dari dirinya sendiri, maka ketika itu Nabi bersabda: “Sekarang hai Umar, yakni sekarang engkau telah mencapai peringkat mukmin sejati” (HR. Bukhari).[11]

5. Berkata tidak sesuai hatinya
Di surat al-Fath ayat 11-12 Allah berfirman:
                                                                                                                             ãAqà)uy
 y7s9 šcqàÿ¯=yßJø9$# z`ÏB É>#{ôãF{$# !$uZ÷Fn=tóx© $uZä9ºuqøBr& $tRqè=÷dr&ur öÏÿøótGó$$sù $uZs9 4 tbqä9qà)tƒ OÎgÏFoYÅ¡ø9r'Î/ $¨B }§øŠs9 Îû öNÎgÎ/qè=è% 4 ö@è% `yJsù à7Î=ôJtƒ Nä3s9 šÆÏiB «!$# $º«øx© ÷bÎ) yŠ#ur& öNä3Î/ #ŽŸÑ ÷rr& yŠ#ur& öNä3Î/ $JèøÿtR 4 ö@t/ tb%x. ª!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #MŽÎ7yz ÇÊÊÈ ö@t/ ÷LäêYoYsß br& `©9 |=Î=s)Ztƒ ãAqߧ9$# tbqãZÏB÷sßJø9$#ur #n<Î) öNÎgŠÎ=÷dr& #Yt/r& šÆÎiƒãur šÏ9ºsŒ Îû öNä3Î/qè=è% óOçF^oYsßur  Æsß Ïäöq¡¡9$# óOçFZà2ur $JBöqs% #Yqç/ ÇÊËÈ  
Artinya: Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: "Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami"; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Fath: 11).


Artinya: Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa. (QS. Al-Fath: 12).

Sejarah menjelaskan bahwa, sebelum Nabi berangkat menuju ke Mekkah untuk berumrah, beliau mengajak kelompok-kelompok Badui yang ketika itu telah memeluk Islam untuk berangkat bersama beliau melaksanakan umrah, tetapi mayoritas mereka tidak menyambut baik ajakan itu, sebagaimana dijelaskan pada ayat ini.

Permintaan para Badui itu agar Nabi Muhammad memohonkan pengampunan Allah buat mereka, menurut Ibnu Asyur merupakan permohonan yang tulus karena mereka sebenarnya bukan orang-orang munafik. Mereka telah beriman, walau masih lemah. Mereka menduga bahwa permohonan yang dipanjatkan Nabi buat mereka dapat menghapus apa yang mereka rahasiakan. Mereka sebagaimana halnya orang-orang yang tidak paham akan pengetahuan Allah yang menyeluruh antara lain tentang isi hati mereka.
Meski demikian, tidak semua orang Badui seperti itu, ada golongan orang-orang Badui yang puji keimanannya oleh Allah. Di surat at-Taubah ayat 99, Allah berfirman: 

šÆÏBur É>#tôãF{$# `tB ÚÆÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# äÏ­Gtƒur $tB ß,ÏÿZムBM»t/ãè% yYÏã «!$# ÏNºuqn=|¹ur ÉAqߧ9$# 4 Iwr& $pk¨XÎ)     ×pt/öè% öNçl°; 4 ÞOßgè=Åzôãy ª!$# Îû ÿ¾ÏmÏFuH÷qu 3 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÒÒÈ  
Artinya: Di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh do’a Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Kelak Allah akan memasukan mereka kedalam rahmat surgaNya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah: 99).


Apa yang disebutkan oleh ayat ini merupakan golongan yang terpuji dari kalangan orang-orang Badui. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan harta yang mereka nafkahkan di jalan Allah sebagai amal pendekatan diri mereka kepada Allah dengan melalui infak tersebut, dan dengan infak itu mereka berharap akan memperoleh do’a Rasul buat mereka. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah). Artinya, ketahuilah bahwa hal itu berhasil mereka raih. Kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat surgaNya, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.[12]



[1] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim , Juz 2 (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1994) h. 352.
[2] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib , Jilid 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), h. 126
[3] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) h. 201-202.
[4] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990),  h. 127.
[5]  Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005),  h. 216.
[6] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an , Jilid 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993) h. 147-148.
[7] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005),  h. 216-217.
[8] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), h. 137.
[9] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1994),  h. 355
[10] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005),  h. 101.
[11] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,  (Jakarta: Lentera Hati, 2005),  h., 286.
[12] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyah, 1994),  h. 354.
Mahlil Al mudassa
Mahlil Al mudassa Hamba Allah yang sering nyangkut di dunia maya via atribut fana. Email: mahlilflanstsr@gmail.com

Post a Comment for "Orang Badui Dalam Al-Qur'an Begini Sikapnya"