Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting ADS Search Google

Lafadz Mitsaqan Ghalidzan Dalam Al-Quran Menurut Perspektif M.Quraish Shihab

Lafazh مِيثَاقًا غَلِيظًا dalam al-Quran terdapat dalam 3 ayat.

1. Surah al-Nisa ayat 21

وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

2. Surah al-Nisa ayat 154

وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُلْنَا لَهُمْ لَا تَعْدُوا فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.”

3. Surah al-Ahzab ayat 7

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظً 

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”

Lafazh مِيثَاقًا غَلِيظًا di surah al-Nisa ayat 21 menjelaskan tentang pernikahan. Kata nikah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama.[1] Al-Quran juga menggunakan kata nikah sebanyak 23 kali dalam al-Quran dalam berbagai bentuk dengan makna yang sama. Namun, secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti berhimpun. Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja yang disebutkan tidak kurang dari 80 kali dalam al-Quran untuk menggambarkan pasangan yang telah menikah secara sah. Namun, di surah al-Ahzab ayat 50 al-Quran menggunakan kata wahabat yang berarti memberi untuk menggambarkan seorang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah untuk dijadikan istri dan sepertinya kata ini hanya berlaku bagi Rasulullah saja. [2]

M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa surah al-Nisa ayat 20 membahas tentang perkara mas kawin yang boleh dan tidak boleh diminta kembali kepada istri jika pasangan tersebut berpisah (bercerai). Beliau mengatakan bahwa jika seorang suami bermaksud ingin mengganti pasangannya karena tidak dicintainya lagi dengan istri baru yang dicintainya, maka hendaklah seluruh harta yang telah diberikan sebagai mas kawin baik banyak atau sedikit tidak diambil kembali kecuali jika istrinya terbukti melakukan perbuatan keji itupun hanya boleh diambil sebagian. Kemudian di ayat 21 barulah beliau jelaskan, bagaimana mungkin suami mengambil kembali harta yang telah ia berikan kepada istrinya padahal sebagian kamu sudah bergaul luas dengan sebagian yang lain. Inilah salah satu sebab mengapa mas kawin yang telah diberikan tidak boleh diambil kembali. Kata Afdhaa dalam ayat ini berarti luas. Luar angkasa dinamakan fadha’ karena luasnya. Kata luas dalam ayat ini tidak memiliki batasan sehingga pikiran dapat merantau ke mana saja tentang keluasan pergaulan itu hingga mencapai akhirnya. Sebagian ulama mengartikan pencampuran yang telah mencapai akhir hingga menghapus batas antara dua pihak yang berhubungan.[3]

Ayat ini masih berlanjut dengan وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا yang berarti dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Maksudnya ketika seorang ayah atau wali menikahkan anak perempuannya, dia pada hakikatnya mengambil janji dari calon suami agar dapat hidup bersama rukun dan damai. Sebagaimana Rasulullah ketika menikahkan Fatimah dengan Ali beliau berpesan, “Wahai Ali, dia, yakni Fatimah, untukmu, dengan harapan engkau berbaik-baik menerimanya.”[4]

Ketika seorang wanita bersedia menikah dengan seorang lelaki dan berpisah dari kedua orangtuanya yang membesarkannya berarti dia telah bersedia mengganti semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki yang menjadi suaminya dan bersedia membuka seluruh rahasia yang dia miliki kepada suaminya. Hal tersebut mustahil terjadi jika dia tidak memiliki keyakinan akan hidup bahagia dengan suaminya, akan dibela, didukung dan dilindungi oleh suaminya sebagaimana kasih sayang orangtuanya dahulu. Keyakinan tersirat inilah yang dituangkan oleh istri kepada suami ketika dilakukan ijab kabul, sehingga dilukiskan kekuatan perjanjian pernikahan ini dengan مِيثَاقًا غَلِيظًا yaitu perjanjian yang kokoh berkaitan dengan dua kehidupan manusia bahkan hingga tumbuhnya para generasi muda.[5] Ayat ini juga menjelaskan kekokohan terbentuk dari hubungan yang dekat, hangat, penuh perlindungan, penjagaan, dan keindahan laksana pakaian. Diibaratkan bahwa pasangan suami istri itu laksana pakaian yang saling menutupi satu sama lainnya.[6]

Pada surah al-Nisa ayat 154, lafazh مِيثَاقًا غَلِيظًا berarti perjanjian antara manusia dengan Allah. Lebih tepatnya perjanjian Bani Israil dengan Allah. Sebagaimana yang kita ketahui, Bani Israil atau kaum Yahudi merupakan kaum yang sifat pembangkangannya terhadap Allah terkenal dari masa ke masa. Di dalam ayat ini dijelaskan tentang salah satu dari sekian akibat pelanggaran dan kekerasan hati mereka, yaitu diangkatnya bukit Thursina oleh malaikat ke atas kepala mereka. Hal demikian disebabkan Allah telah memerintahkan kepada mereka untuk memasuki pintu gerbang itu dan bersujud, namun mereka mengabaikan perintah ini. Kemudian Allah perintahkan agar bergegas dari pekerjaan mereka di hari Sabtu, karena itu hari khusus untuk pengabdian kepada Allah, namun mereka juga mengabaikan perintah ini.[7]

Quraish Shihab menyebutkan maksud dari kata-kata “…telah Kami angkat ke ats mereka bukit” dijelaskan pada surah al-Baqarah ayat 63, yaitu:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آَتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاذْكُرُوا مَا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya, agar kamu bertakwa."

Jadi, berdasarkan ayat ini beliau menjelaskan bahwa peristiwa ini terjadi ketika pada mulanya mereka memohon untuk melihat Allah di dunia ini dengan mata kepala mereka, kemudian Allah memperdengarkan kepada mereka halilintar yang mematikan mereka dan kemudian mereka dihidupkan kembali. Namun demikian, setelah dihidupkan kembali mereka tetap tidak mau mengamalkan kandungan kitab suci mereka karena memandangnya berat untuk dilaksanakan. Karena pembangkangan itulah, Allah mengancam akan menjatuhkan bukit Thursina itu ke atas kepala mereka yang akhirnya membuat mereka tunduk dan sujud pertanda bersedia mengamalkannya. Pada saat itu pulalah Allah mengambil janji mereka yaitu: “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepada kamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya agar kamu bertakwa.”[8]

Kemudian, maksud dari kata-kata, “… masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud” yaitu telah dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 58, yaitu:

وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ

Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik."

Berdasarkan ayat ini, dijelaskan bahwa hal ini terjadi pada nenek moyang orang yahudi dahulu yang hidup pada masa Rasulullah saw. Allah memerintahkan mereka untuk masuk ke kota Bait al-Maqdis dengan sujud, tunduk, dan rendah hati sambil berkata hiththah yang berarti bebaskanlah kami dari dosa atau permohonan ampun. Namun mereka malah masuk dengan membangkang dan angkuh serta menggganti ucapannya dengan hinthah yang berarti permohonan gandum.[9]

Di akhir ayat beliau juga menjelaskan tentang maksud, “…. Janganlah kamu bergegas melanggar pada hari Sabtu” juga telah dijelaskan pada surah al-Baqarah ayat 65 yaitu:

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ 

Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina”.

Demikianlah, di ayat ini beliau menjelaskan bahwa hari Sabtu adalah hari yang ditetapkan Allah bagi orang-orang Yahudi sebagai hari ibadah yang bebas dari aktivitas duniawi. Mereka dilarang melaut di hari itu. Sebagian mereka melanggar dengan cara yang licik. Mereka tidak mengail namun membendung ikan dengan menggali kolam sehingga air bersama ikan masuk ke kolam itu. Peristiwa ini menurut sebagian mufassir terjadi di salah satu desa kota Aylah di Palestina. Kemudian setelah hari Sabtu berlalu barulah mereka mengambilnya. Allahk murka terhadap mereka hingga Allah berfirman kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina”.[10]

Kata غَلِيظًا di ayat ini dapat berarti kokoh, kasar, atau keras. Perjanjian yang diambil dari kaum yahudi dikatakan kokoh dikarenakan menyelaraskan sifat mereka yang kasar dan keras hatinya dan menggambarkan keadaaan bukit yang ingin dilemparkan kepada mereka yang batu-batunya kukuh lagi keras yang berada di atas kepala mereka.[11]

Pada surah al-Ahzab ayat 7, lafazh مِيثَاقًا غَلِيظًا bermakna perjanjian antara Allah dengan para nabi. Awal surah al-Ahzab ini menceritakan tentang Allah memerintahkan Nabi saw. untuk mempertahankan ketakwaan, bertawakkal kepada Allah dan melarang mematuhi orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Kemudian dilanjutkan dengan pembatalan beberapa adat jahiliyah yang berkembang di masyarakat. Kemudian di ayat ini, berkaitan lagi dengan awal surah, yakni Allah mengingatkan bahwa Allah dulu pernah mengambil janji dari para nabi-nabi terdahulu yang ulul azmi yang termasuk engkau wahai Rasulullah yaitu janji untuk menyampaikan risalah Ilahiyah apapun risikonya dan untuk saling membenarkan dan mendukung satu sama lain. Hal ini Allah sebutkan dengan perjanjian yang kokoh karena tentunya akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat nanti. Ayat ini tidak memaparkan lagi isi perjanjian tersebut karena sudah terwakili oleh awal surahnya yang membahas tentang itu.[12]

Ada dua pendapat ulama mengenai hal ini. Pendapat pertama menjelaskan bahwa janji yang kokoh ini adalah perjanjian antara Allah dengan para nabi-Nya. Sedangkat pendapat kedua mengatakan bahwa perjanjian tersebut adalah perjanjian di alam dzarr, di mana semua makhluk diambil janjinya untuk mengakui keesaan Allah.[13] Pendapat pertama berdasarkan surah Ali imran ayat 81, yaitu:

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ النَّبِيِّينَ لَمَا آَتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُوا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِينَ 

Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui." Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.”

Sedangkan pendapat kedua berdasarkan surah al-A’raf ayat 172, yaitu:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ 

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

Dalam ayat 7 surah al-Ahzab, banyak ulama yang mengartikan kata مِيثَاق yang pertama sama maksudnya dengan yang kedua, yaitu perjanjian yang benar-benar mengikat dengan kokoh. Allah juga menyebutkan Nabi Muhammad dengan kata منك diurutan pertama di antara nabi-nabi yang lain sebagai penghormatan bagi beliau, baru kemudian diikuti oleh penyebutan nabi-nabi lain berdasarkan masanya, yakni Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa bin Maryam. Ada yang berpendapat perjanjian yang dimaksud tersebut diambil Allah secara langsung dari para nabi di tempat yang tidak kita ketahui keberadaannya untuk percaya kepada Nabi Muhammad saw. dan jika bertemu beliau siap untuk mendukung dan membela beliau. Adapula yang berpendapat itu adalah janji antar para nabi yang berisi setiap nabi harus saling membenarkan dan mempercayai serta mengambil janji dari masing-masing untuk mendukung nabi yang datang sesudahnya.[14]

Tujuan diambilnya janji-janji tersebut yaitu agar ketika umat manusia di akhirat nanti bertanya mengapa Allah menghukum mereka yang kafir, padahal mereka kafir karena kedua orangtuanya, hal itu sebagai bukti bahwa sejak dahulu manusia telah berjanji dan mengakui bahwa Allahlah pencipta seluruh makhluk di bumi dan hanya Allahlah yang patut disembah sebagai Tuhan.[15]

Analisis.

M. Quraish Shihab menjelaskan dalam kitab Tafsirnya dan beberapa buku karyanya bahwa yang disebut مِيثَاقًا غَلِيظًا atau ikatan perjanjian yang kokoh ada tiga hal yakni perjanjian pernikahan, perjanjian antara Allah dan Bani Israil serta perjanjian antara Allah dan para Nabi. Ketiga hal ini disebutkan Allah dengan perjanjian yang kokoh atau kuat dikarenakan beberapa hal yakni dalam pernikahan dikatakan sebagai ikatan yang kuat karena berkaitan antara dua manusia yang disatukan dan saling membagi setiap detik dalam hidupnya dan dari mereka akan dilahirkan generasi-generasi penerus mereka sehingga perpisahan atau perceraian menjadi sesuatu yang dibenci Allah meskipun dibolehkan. Perjanjian dengan Bani Israil dianggap perjanjian yang kuat atau kokoh dikarenakan watak Bani Israil yang keras dan kasar serta sering membangkang apa yang diperintahkan Allah sehingga ketika Bani Israil melanggar janjinya kepada Allah maka yang didapatkannya adalah Allah murka dan membatalkan semua keistimewaan yang telah diberi kepada mereka yang membangkang. Perjanjian Allah dengan para nabi juga adalah perjanjian yang amat teguh, perjanjian yang berkaitan dengan seluruh umat manusia bahwa mereka akan menanggung semua risiko untuk membawa risalah ilahiyat, apapun ujian dan tantangannya akan mereka hadapi. Namun, karena perjanjian ini adalah kepada para nabi yakni manusia pilihan Allah, maka ini menjadi tolak ukur bahwa tidak ada nabi yang membawa selain risalah ilahiyah, seperti mengaku dirinya Tuhan atau menuhankan hal lain selain Allah, itu adalah kebohongan sepenuhnya.

Al-Quran adalah kitab Allah yang jelas dan nyata yang diturunkan Allah kepada Rasulullah yang jika di dalamnya terdapat sesuatu yang mujmal (global) maka Rasululullah yang menafsirkannya atau bagian dari al-Quran itu sendiri yang menafsirkan bagian lainnya.[16] Kemuliaan Al-Quran ini menjadikan seluruh isinya merupakan pedoman hidup bagi umat muslim, termasuk perjanjian-perjanjian yang telah disebutkan sebelumnya. Allah membuat perjanjian-perjanjian tersebut dan mengungkapkannya dalam Al-Quran tentu memiliki hikmah tersendiri.

Tafsir Al-Misbah bercorak adab al-ijtima’i sehingga pelajaran yang dapat diambil dari penafsiran Quraish Shihab adalah dari segi masyarakat. Dilihat dari kondisi sosial masyarakat, surah al-Nisa ayat 51 yang membicarakan tentang pernikahan sebagai ikatan yang kuat ini merupakan bukti bahwa al-Quran merupakan kitab pertama yang dikenal umat manusia yang berbicara tentang hukum sejarah dan masyarakat. Al-Quran menempatkan dirinya sebagai pendorong dan pemandu manusia untuk berperan positif dalam kehidupannya termasuk dalam hal hubungan antar manusia yang lawan jenis dalam ikatan pernikahan yang akan menghasilkan keturunan sebagai generasi penerus bangsa.[17] Jika ayat ini dibaca dan dipahami dengan baik akan menciptakan masyarakat yang damai karena keluarganya damai dan generasi terbaik bangsa. Tidak jarang terlihat bahwa kehancuran mahligai pernikahanlah yang membuat kehidupan manusia berantakan dari berbagai pihak. Surah al-Nisa ayat 157 pun jika dibaca dan dipahami dengan baik terdapat banyak pelajaran yang diambil dari sisi sosial masyarakat, yaitu jadilah masyarakat atau umat yang patuh akan perintah Allah dengan cara meneladani Rasulullah. Meneladani Rasulullah adalah jalan paling selamat dan hal yang harus dijalankan bagi mereka yang mengaku umatnya sebab akhlah beliau adalah akhlak al-Quran.[18] Dengan demikian, umat akan terhindar dari azab Allah dan janji-janji Allah pun akan terealisasikan untuk hamba-Nya. Ayat terakhir tentang perjanjian Allah terhadap para nabi ini menjadi bukti bahwa Nabi telah menyanggupi risalah tersebut dan menyampaikannya dengan sebenar-benarnya. Terjadinya kesalahan atau penyimpangan agama saat ini bukan karena nabinya tapi karena umatnya. Salah satu penyimpangan yaitu ketika umat Nasrani mengakui Isa sebagai Tuhan mereka, padahal Isa adalah salah satu dari hamba Allah dan ia tidak pernah memerintahkan pengikutnya untuk menyembah dirinya sendiri.[19] Jadi, sebagai umat muslim semakin memperkaya ilmu dalam pemahaman Al-Quran adalah sesuatu yang bernilai positif agar tidak mudah terkecoh dengan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya.

M. Quraish Shihab mengarang berbagai buku berkenaan dengan penafsiran al-Quran di antaranya Membumikan Al-Quran dan Wawasan al-Quran. Kedua buku ini memaparkan penafsiran al-Quran namun secara tematik berdasarkan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, beliau memutuskan untuk menulis tafsir yang bermetode tahlili yang memaparkan seluruh ayat-ayat al-Quran beserta penafsirannya secara komprehensif berurutan dari surah al-Fatihah hingga surah al-Nas. Beliau dalam menafsirkan al-Quran bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, sehingga dalam menafsirkan ayat per ayat lebih ditekankan pengaplikasiannya dalam masyarakat dan sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa corak penafsiran beliau adalah adabi al-ijtima’i.

Lafadz مِيثَاقًا غَلِيظًا ditafsirkan agak berbeda dari sudut pandang T.M Hasbi Ash-Shiddieqy dalam kitab tafsirnya Al-Quranul Madjid An-Nur meskipun bercorak sama yakni adabi al-ijtima’i dengan metode tahlili dan muqaran. Di awal beliau menjelaskan tentang pentingnya ikatan pernikahan sebagai jalinan perjanjian bersama yang kuat dan tidak bisa diubah atau dirusak, yaitu janji akan keharusan mempergauli istri dengan baik dan jika melepaskannya juga harus baik-baik.[20] Beliau mengutip beberapa pendapat ulama di antaranya Muhammad Abduh mengatakan bahwa perjanjian yang diterima oleh kaum perempuan saat menikah merupakan fitrah yang sejahtera, yang ditunjuk oleh ayat al-Quran tentang Allah menjadikan manusia berpasang-pasangan.[21] Qatadah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian yang kuat di sini adalah perjanjian yang diambil oleh Allah dari laki-laki untuk perempuan.”[22]

Selain penafsiran M.Quraish Shihab dan T.M Hasbi Ash-Shiddieqy yang berasal dari Indonesia, mufassir dari berbagai belahan dunia lainnya juga menafsirkan lafaz مِيثَاقًا غَلِيظًا salah satunya adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi. Beliau menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa kepercayaan dan perasaan fitrah istri yang begitu bahagia menganggap bahwa kehidupannya setelah menikah dengan suami akan lebih bahagia yang telah tertanam dalam jiwanya itulah yang dimaksud dengan perjanjian yang kokoh atau ikatan yang kuat dalam pernikahan.[23] Perjanjian yang kokoh antara Allah dan Bani Israil yaitu perjanjian supaya mereka melaksanakan isi Taurat dengan kuat dan menegakkan peraturan-peraturan Allah dan tidak melanggarnya serta kabar gembira akan kedatangan Nabi Isa as. dan Nabi Muhammad saw. yang terdapat pada pasal 29 dan seterusnya dalam Kitab Ulangan dalam Taurat terakhir yang ada pada mereka.[24] Sedangkan perjanjian yang kokoh antara Allah dan para nabi yaitu melalui pertanyaan Allah kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan sewaktu diutus, karena berdasarkan kebiasaan ketika raja memerintahkan sesuatu kepada utusannya dan dia menerimanya maka ini adalah perjanjian kesanggupan bagi utusan tersebut dan jika dipertanyakan bagaimana ia menjalankan perintah raja maka itu adalah pengukuhan terhadap perjanjian tersebut sehingga pelaksanaannya tidak ditampah ataupun dikurangi.[25]

Jika dalam Tafsir Al-Misbah Quraish Shihab dalam pembahasan ini banyak menggunakan pendapat jumhur ulama atau Sayyid Qutb dan T.M. Hasbi Ash-Siddieqy mengutip berbagai pendapat ulama baik dari mutaqaddimin atau mutaakhirin, maka Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya lebih banyak memaparkan pendapatnya dibanding pendapat ulama-ulama lain.

Secara keseluruhan, untuk masyarakat Indonesia tafsir al-Maraghi dapat digunakan, namun karena bahasa penerjemahannya yang agak sulit dipahami jadi lebih diarahkan ke kalangan akademisi. Berbeda halnya dengan Tafsir Al-Misbah atau Tafsir Al-Quran Al-Madjid Al-Nur yang ditulis oleh penulis Indonesia. Tafsir Al-Misbah sesuai dengan kondisi sosial masyarakat saat ini karena corak tafsirnya yang lebih ke masyarakat. Begitu juga dengan tafsir T.M Hasbi Ash-Shiddieqy yang bercorak sama namun tentunya lebih relevan pada masanya. Pada saat ini tafsir al-Misbah lebih cocok untuk digunakan karena pembahasannya lebih luas dan tafsir T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy juga baik digunakan untuk pelengkap dari pembahasan-pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab. 
______________

[1] Badan Bahasa, Kemendikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Play Store: 27 Oktober 2016)
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Pustaka Mizan, 2007), hal. 191
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 465
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,… hal. 465
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,… hal. 465
[6] Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Quran, terj. Abdul Hayyi al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal. 210
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,… hal. 794
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,… hal. 795
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,… hal.795
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,… hal. 796
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,… hal.795
[12] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,…hal. 421
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,…hal. 421
[14] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,…hal. 164
[15] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan, dan Keserasian al-Quran,…hal.369
[16] Muhammad Ismail Ibrahim, Sisi Mulia Al-Quran: Agama dan Ilmu, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 39
[17] Umar Shihab, Kontekstualitas Al-Quran, (Jakarta: Penamadani, 2005), hal. 83
[18] Didik Suharyo, Mukjizat Huruf-Huruf Al-Quran, (Ciputat: Salima, 2012), hal. 45
[19] Basri Iba Asghary, Solusi Al-Quran: Tentang Problema, Politik, Budaya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) hal. 67
[20] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Madjid An-Nur, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011), hal. 507
[21] QS. Ar-Rum (30): 21
[22] QS. Al-Baqarah (2): 229
[23]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk (Semarang: Karya Toha Putra, 1993), hal. 389
[24]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk … hal. 20
[25]Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk … hal. 250
Mahlil Al mudassa
Mahlil Al mudassa Hamba Allah yang sering nyangkut di dunia maya via atribut fana. Email: mahlilflanstsr@gmail.com

Post a Comment for "Lafadz Mitsaqan Ghalidzan Dalam Al-Quran Menurut Perspektif M.Quraish Shihab"