Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting ADS Search Google

Edukasi Pentinganya Mengenal Sejarah Ulama Aswaja

BELI BUKU KLIK DISINI

Sejak runtuhnya Khilafah Turki Utsmani pada 1924 M, sebagai simbol terakhir ummat Islam, ummat ini telah melemah di berbagai sendi, perihal ekonomi, politik, apalagi akhlak tak perlu dipertanyakan lagi. 

Bahkan yang paling menyakitkan adalah identitas ummat ini juga ikut goyah, berbagai macam problema menimpa akidah ummat Islam. 

Banyak sekali muncul tokoh-tokoh yang ingin memodernisasikan kembali ajaran Islam agar Islam kembali murni dan bisa mengembalikan era kegemilangannya sekali lagi. 

Namun naasnya, pembaharuan yang orang-orang ini lakukan, alih-alih membuat agama lebih baik, malah menimbulkan masalah baru, akidah ummat makin amburadur dan menyeleweng dari yang sebenarnnya.

Saya jadi teringat mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kala belajar di SMA dulu, dalam buku mapel SKI kurikulum 2013 tersebut terdapat satu bab khusus yang memuat tentang modernisasi dalam Islam, lengkap dengan tahapan beserta para tokohnya.

Dalam buku itu, modernisasi/pembaruan diartikan oleh sebagian kelompok sebagai pemurnian kembali ajaran Islam seperti di masa salafus saleh, karena Islam di masa ini telah banyak bercampur dengan thariqah-thariqah dan khurafat-khurafat menyesatkan yang membuat ummat Islam menjadi mundur. 

Sebagian golongan lain mengartikan, pembaruan adalah menyesuaikan Islam dengan Barat, sebagai pusat kemajuan saat itu. 

Terjadilah pemisahan agama dengan kehidupan sosial, politik, dll. Mereka mencoba meniru cara bangkitnya peradaban Eropa dari masa kegelapan menuju era kebangkitan.

Tahap pertama gerakan pembaruan ini disebut dengan “revivalisme pramodernis”, dimulai pada akhir abad 18 hingga awal abad 19 M. Tercatat gerakan tersebut dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Namun sebenarnya, jauh sebelum Muhammad bin Abdul Wahab, pemikiran ini telah lebih dulu disebarkan oleh inspiratornya pada abad 14 M, Ibnu Taymiah. Di masa-masa berikutnya, kedua tokoh ini pun menjadi kunci pembaharuan dalam tubuh Islam, kemudian disusul oleh tokoh-tokoh lain seperti Jamaluddin al-Afghani, Sayyid Muhammad Khan, Muhammad Abduh, Muhammad Ali Jinnah, Rasyid Ridha, dan beberapa lainnya. 

Jadi beginilah arti modernisasi dan sejarahnya yang ditulis di sana dan para tokoh ini pula yang diangkat dalam buku tersebut untuk selanjutnya diajarkan kepada seluruh anak-anak muslim di Sekolah Menengah Atas.

Pantas saja saat itu saya merasa bingung, karena tokoh pembaruan akidah yang diajarkan di sekolah sangat berbeda dengan yang diajarkan di dayah. Sosok seperti Ibnu Taymiah, apalagi Muhammad bin Abdul Wahab, merupakan tokoh yang begitu diwanti-wanti oleh guru dayah untuk dijauhi karya-karya mereka bagi orang yang belum kuat pondasi akidahnya, tapi di sekolah malah dipelajari dan disuruh hafal pula biografinya. Baru setelah banyak belajar dan membaca, saya pun tahu yang sebenarnya.

Realitanya, ummat ini selain mengalami krisis dalam akidah sebagai penyakit utama, juga mengalami krisis edukasi terhadap tokoh-tokoh akidah Aswaja yang seharusnya dijadikan pegangan dalam beragama. 

Bayangkan, sebagian besar generasi lebih banyak belajar di sekolah-sekolah umum ketimbang belajar di pesantren tradisional. Tentu dapat disimpulkan, lebih banyak generasi yang mengenal Ibnu Taymiah ketimbang Imam asyary, Muhammad bin abdul wahab dan Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharu bagi mereka, nama-nama seperti Fakhruddin ar-Razi, Imam Sanusi, ad-Dawani, Taftazani sudah pasti terdengar asing di telinga mereka.

Apalagi saat mereka sudah beranjak ke jenjang kampus, mungkin tokoh-tokoh filsafat Barat, seperti Karl Mark, Francis bacon, Rene Descartes akan lebih populer di kalangan mereka, dan pada akhirnya buku-buku merekalah yang akan menjadi pegangan dalam menentukan identitas dan nilai hidup mereka. 

Bahkan, mungkin yang lebih ironi, generasi yang mengenyam pendidikan di dayah sekalipun, kadang tidak mengenal para tokoh-tokoh akidah mereka, jangankan nama tokoh-tokoh Aswaja yang jarang di dengar, musannif (pengarang) kitab yang tiap hari mereka pelajari pun terkadang mereka lupa, malahan ada yang tidak kenal sama sekali.

Dan bila pun para generasi mengenal tokoh Aswaja, seperti Imam ar-Razi misalnya, mereka mungkin hanya mengenal beliau sebagai sosok dokter atau penemu, bukan sebagai penjaga akidah, karena begitulah yang diajari di sekolah. 

Bahkan, tokoh sekaliber Imam al-Ghazali pun hanya terkenal sebagai seorang sufi. Sayyid Syarif, Imam Baidhawi, Adhuddin Iji, itu hanya nama musannif kitab, apa perannya bagi agama dan bagi dunia? Tidak ada yang tahu. Ya, di zaman ini, mungkin tokoh-tokoh Eropa lebih populer, sebab mereka memiliki jasa besar terhadap dunia dan kita akan dianggap keren dan berpendidikan jika mengenal mereka. Tentu Sangat Miris Sekali

Maka dari itu, mempelajari dan menggairahkan ilmu kalam sangat penting dilakukan sebagai jalan menyembuhkan kembali akidah. Di samping itu, pengenalan terhadap tokoh-tokohnya juga tak kalah penting.

Kenapa penting? Alasannya bisa dari hal yang paling umum, yaitu supaya para generasi bisa tahu mana tokoh yang bisa diikuti dan mana yang tidak, mana tokoh yang bukunya bisa dijadikan pegangan dan mana yang harus dijauhi. 

Hingga alasan paling khusus, seperti; mengenal tokoh adalah salah satu kunci memahami kitab mereka dan mengetahui seluk beluk karyanya. kita bisa tahu bagaimana beliau melahirkan sebuah pendapat dan dalil, dengan siapa beliau terpengaruh, dan kenapa beliau menyusun karyanya sedemikian rupa. Misalnya, kenapa pembahasan filsafat dicampur dengan pembahasan akidah dalam kitabnya Imam ar-Razi, Sa'ad atau Imam Adhud, dll

Jika saja tidak ada pembahasan samiyat mungkin tidak ada bedanya kitab itu dengan kitab-kitab ilmu hikmah. Apa alasan Imam Sanusi begitu keras terhadap orang-orang taklid dalam Akidah Kubranya, sedangkan dalam Akidah Sugra malah lebih toleransi. 

Apa sebab Imam Haramain mengatakan bahwa hubungan antara premis dengan konklusi adalah lazim akli, lalu kenapa beliau kemudian mengubah pendapatnya. Nah, permasalahan semacam ini tentu bisa dijawab dengan mengenal tokoh-tokohnya, tahu siapa gurunya, siapa saja ulama yang berpengaruh baginya, bagaimana polemik agama di daerah dan di masa hidupnya.

Dengan mengenal mereka, kita bisa tahu bagaimana cara mereka belajar sehingga mampu merumuskan dalil yang begitu akurat dan dapat membuat lawan bicara bungkam seketika. 

Bagaimana Imam Asy-ary dan madrasahnya mampu memadamkan pemikiran muktazilah, bagaimana bisa Imam Asy'ary, Imam Bakilani, dll, begitu mudah membantah argumennya Muktazilah, padahal mereka dikenal sebagai kelompok yang sangat ganas saat itu. 

Bagaimana cara Imam Al-Ghazali begitu lihai menyusun argument hingga para filosof musnah di tangannnya. Apalagi Imam Ar-razi dan tokoh-tokoh dalam madrasahnya, mereka tak hanya jenius dalam menguraikan dalil, tapi juga lihai dalam menguraikan syubhat lawan debatnya bahkan lebih hebat dari mereka.

Demikian juga, mengenal para tokoh-tokoh ini adalah bentuk rasa syukur terhadap mereka. Berkat jerih payah mereka, akidah ini bisa bertahan hingga sekarang. Dan jasa mereka tak hanya bagi agama ini, tapi juga bagi dunia, pemikiran-pemikiran merekalah yang menguasai dunia di abad pertengahan dan berhasil meluruskan cara berpikir orang-orang sesat di zaman itu. 

Ulama-ulama kita ini adalah guru dari gurunya para filsuf Eropa yang kita kagumi dalam cara berpikir dan berteori, sekalipun mereka tak mau mengakuinya.

Lebih dari itu, para tokoh ini pula lah yang seharusnya kita jadikan suri teladan, dalam berakhlak, dalam hal kegigihan saat belajar dan memperjuangkan akidah ini, atau ketabahan mereka atas cobaan, cacian dan semacamnya saat melawan ajaran-ajaran sesat, apalagi penganut pemikiran-pemikiran ekstrim dan didukung oleh kekuatan politik, sehingga membuat mereka harus berpindah-pindah tempat tinggal, difitnah layaknya Imam ar-Razi, bahkan dipenjara seperti Ahmad bin Hanbal. Bukankah selain krisis akidah, umat kita juga krisis terhadap teladan hidup. karenanya, tidak ada sedikitpun alasan bagi kita untuk tidak mengenal mereka.

Selain pengenalan tokoh, edukasi sejarah Aswaja juga sangat penting sekali. Kita tidak mungkin membiarkan para generasi percaya bahwa pembaruan Islam dipelopori oleh Ibnu Taymiah atau Muhammad bin Abdul Wahab, dan arti pembaruan yang sebenarnya bukanlah seperti yang mereka maksud. Tapi, jauh sebelum mereka, bahkan di era Salaf sudah ada para tokoh yang menjaga akidah ini, seperti Abu Hanifah, sebelum menjadi pemuka mazhab beliau adalah seorang mutakallimin. 

Kemudian setelah eranya, ada Imam Asy'ary yang memurnikan akidah ini seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW setelah dinodai oleh kaum Muktazilah, inilah yang disebut pembaruan yang sebenarnya.

Penting bagi kita untuk mengetahui periode-periode apa saja yang dilalui akidah ini, siapa tokoh utama di setiap periode dan kelompok apa saja yang menjadi lawannya. Mulai dari masa Imam Asy'ary dan murid-muridnya sebagai pengasas yang sukses menumbangkan Mu'tazilah, Khawarij, Jahmiah, dsb. 

disusul ke masa Abu Bakar Bakilani, Abu Ishak Isfiraini. Kemudian masanya Muhammad al-Juwayni (Ayahnya Imam Haramain), dilanjutkan oleh Imam Haramain yang banyak melahirkan tokoh-tokoh terkemuka. Hingga tiba ke periode kejayaan, di saat-saat banyaknya muslim yang tertarik mempelajari filsafat Yunani dan menyebabkan lahirnya banyak filosof dalam Islam, di masa inilah lahirnya sosok al-Ghazali yang membasmi habis mereka. Kemudian Setelah itu dilanjutkan oleh imam ar-Razi dan madrasaahnya. Dsb.

Dari sejarah ini, kita bisa tahu bahwa akidah kita adalah mayoritas di masa lampau dan bisa menjadi solusi dalam islam, bahkan dunia. Sejarah menjadi saksi, para pejuang Asya'irah telah berjaya menumpas kelompok-kelompok nyeleneh yang pemikirannya jauh lebih kuat dari syubhat yang ada di era sekarang. 

Lewat sejarah terbukti, bahwa akidah kita tersebar bukan karena politik atau melalui tangan penguasa, tapi memang karena kekuatan dalilnya.

Oleh sebab itu, Mengenal dan memperkenalkan tokoh akidah Aswaja dan sejarahnya tentu bisa menjadi salah satu sarana paling efektif untuk menguatkan kembali akidah Aswaja.  Sama halnya dengan menciptakan rasa nasionalis dan patriotis bagi generasi, perlunya mengedukasikan sejarah kegemilangan bangsa pada mereka dan mengenalkan para tokoh pahlawan serta kisah heroiknya, dengan begitu nasionalisme mereka akan kuat, mereka jadi tau identitas mereka, sikap superiority komplek dan kesadaran terhadap tanggung jawab berbangsa akan bangkit. Tak berbeda, dalam berakidah juga demikian adanya.

Nah, caranya bisa bermacam-macam, mulai dari menulis artikel, menyediakan buku-buku akidah, juga buku-buku yang menulis sejarah dan tokoh-tokonya di segala institusi pendidikan, terutama di dayah-dayah. Atau memasukkan pembahasan ini dalam buku-buku kurikulum sekolah. 

Penulis: Maulizal Akmal Muhammad - ACEH
Mahlil Al mudassa
Mahlil Al mudassa Hamba Allah yang sering nyangkut di dunia maya via atribut fana. Email: mahlilflanstsr@gmail.com

Post a Comment for "Edukasi Pentinganya Mengenal Sejarah Ulama Aswaja "